Nazar secara bahasa adalah janji (melakukan hal) baik atau buruk. Sedangkan nazar menurut pengertian syara’ adalah menyanggupi melakukan ibadah (qurbah; mendekatkan diri kepada Allah) yang bukan merupakan hal wajib (fardhu ‘ain) bagi seseorang.
Berdasarkan pengertian di atas, maka tidak sah bernazar akan melakukan hal yang mubah, makruh (menurut pendapat yang rajih [kuat]), dan haram. Begitu juga tidak sah bernazar akan melakukan sesuatu yang wajib atau fardhu ‘ain baginya, seperti bernazar akan melakukan shalat lima waktu. Sebab shalat lima waktu, meskipun tidak dinazarkan, sudah menjadi kewajiban bagi seorang Muslim (Sayyid Ahmad bin ‘Umar As-Syatiri, al-Yaqut an-Nafis fi Madzhabi Ibni Idris, hal. 227).
Dengan demikian, perkara perkara yang dapat dinazarkan (di janjikan) adalah perkara yang dihukumi oleh syara’ sebagai perbuatan sunnah atau fardlu kifayah. Seperti bernazar akan bersedekah kepada fakir miskin, bernazar akan menshalati jenazah fulan, dan contoh hal-hal sunnah dan fardlu kifayah yang lain.
Efek dari pelaksanaan atau proses sebuah nazar adalah perkara yang asalnya dihukumi sebagai sunnah atau fardhu kifayah menjadi hal yang wajib baginya. Misalnya, saya akan bersedekah kepada fakir miskin yang semula sunnah, menjadi wajib bagi orang yang bernazar (menjajikan) akan melakukan hal tersebut. Begitu juga melaksanakan shalat jenazah yang asal hukumnya adalah fardhu kifayah, berubah menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang menazarkannya
Salah satu syarat sahnya nazar adalah lafaz nazar harus mengandung sebuah kepastian untuk menyanggupi melakukan suatu hal yg di nazarkan. Misalnya, perkataan “Saya bernazar (berjanji) akan puasa pada hari Senin dan Kamis”, “Jika saya peringkat satu, saya akan memberi hadiah pada ibu”, dan perkataan-perkataan lain yang mengandung sebuah kepastian untuk melakukan suatu hal. Bila perkataan tidak mengandung kepastian untuk melakukan suatu hal maka perkataan tersebut tidak dikategorikan sebagai nazar. Misalnya, seseorang mengatakan “Jika saya lulus sekolah, kemungkinan besar saya akan memberikan motor saya”, “Bisa jadi besok saya akan puasa”, dan semacamnya.
Saat seseorang bernazar akan menunaikan ibadah tertentu dengan penyebutan secara umum, maka yang wajib ia lakukan adalah sebatas sesuatu yang dapat dinamai sebagai perbuatan ibadah tersebut (ma yaqa’u alaihi-l-ismu). Misalnya, seseorang mengatakan, “Jika saya sembuh, saya akan puasa” maka hal yang wajib ia lakukan adalah cukup berpuasa selama satu hari saja, sebab puasa satu hari sudah dapat disebut sebagai ibadah puasa.
Perkataan “Saya pasti akan melakukan shalat di malam hari” maka nazar seseorang akan terpenuhi dengan melaksanakan dua rakaat di malam hari. Perkataan seseorang “Saya akan bersedekah kepada fakir miskin” maka kewajiban nazarnya cukup dengan menyedekahkan bilangan uang yang paling sedikit yang masih memiliki nilai tukar (aqallu mutamawwalin), seperti menyedekahkan uang 500 rupiah, sebab memberikan uang 500 rupiah pada fakir miskin sudah dianggap sebagai sedekah (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib, hal. 324)
Berbeda halnya ketika hal yang dinazarkan (al-manzur bih) tidak bersifat umum, tapi sudah ditentukan. Misalnya, perkataan “Jika saya juara kelas, maka saya akan puasa selama satu minggu” maka wajib baginya untuk melakukan puasa sesuai dengan hal yang sudah ia tentukan, yakni satu minggu. Ketentuan ini juga berlaku pada ibadah-ibadah lain yang sudah ditentukan, maka wajib untuk melakukan ibadah yang dinazarkan sesuai dengan ketentuan yang telah dikhususkan pada saat pengucapan nazar.
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Sumber NUOnline
Diolah oleh blogger
0 Komentar